Menjadi Guru di Rumah

Bulan September tahun lalu saya di wisudakan bersama beberapa mahasiswa lain di sebuah Universitas swasta di Mataram Lombok, NTB. Saya lulus dengan predikat sangat memuaskan. Alhamdulillah, meski tak dapat comloude saya bisa menjadi barisan kedua dalam mahasiswa berpredikat sangat memuaskan, apakah saya bangga? Yah, tentunya saya bangga. Apa pun prestasi yang saya dapatkan harus saya banggakan, karena semua yang didapatkan tidak mudah, harus belajar bertahun-tahun di bangku kuliah, mengerjakan berbagai macam tugas dari dosenn kadang harus dimarah karena kesalahan-kesalahan yang dibuat. Tak jarang diusir dari kelas karena telat. Semua itu perjuangan, semua itu pengalaman.

Nah, yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah. Dengan nilai memuaskan itu sudah jadi apa saya sekarang? Apakah saya sudah bermanfaat untuk orang lain? Atau minimal bermanfaat untuk diri sendiri. Jawabannya adalah saya masih pengangguran. Yah pengangguran yang bergelar sarjana. Kata orang di desa saya "Sekolah tinggi-tinggi ujungnya jadi ibu rumah tangga." Ada pula yang bilang "Udahan aja sekolahnya jangan di lanjutin, nggak bosan?"

Baik, saya mengaku bahwa saya adalah pengangguran. Tapi, yang saya syukuri adalah saya pernah belajar, saya pernah menimba ilmu, berdiskusi, dan bercerita, dan saling bertukar pengalaman bersama dosen-dosen di kampus. Dan sampai sekarang saya masih belajar bersama para guru se-Indonesia melalui group WA yang dipimpin oleh pak Winaya Kusuma yang sering disapa Om Jhay. Di sini saya bukan belajar menjadi guru, bukan pula belajar mengolah kelas dan lain-lain. Tapi, saya belajar menulis. Bagaimana menulis yang baik, menjadi penulis profesional dan lain sebagainya, itu awal niat masuk group. Tapi, alhamdulillah setelah bergabung di group saya mendapat banyak pelajaran. Tidak hanya menulis, melainkan belajar menghadapi murid di kelas, mengelola kelas saat pandemi, dan ilmu tambahan bagi saya adalah ilmu parenting yang bisa saya terapkan sebagai ibu rumah tangga yang bergelar sarjana tapi "pengangguran". Tapi, saya tetap bangga. Karena, menganggur saya bisa lebih dekat dengan anak semata wayang saya. Dari ilmu di group WA juga saya aplikasikan dalam mendidik anak saya. Bagaimana sekiranya saya berbicara dengan anak saat marah, menetralkan emosi yang sering meledak, dan menghadapi anak yang "keras kepala", karena di kelas para Bapak/Ibu guru juga menghadapi masalah itu. Maka ada beberapa hal yang terus saya terapkan untuk mengatasi hal-hal di atas.

1. Untuk mengatasi anak yang susah mendengar permintaan saya.

Misalnya saya sering meminta anak saya untuk tidak main HP disaat mau tidur, atau saat makan. Maka yang saya lakukan terlebih dahulu adalah mengoreksi diri saya. Karena tidak mungkin saya melarang sedangkan saya sendiri melakukannya. Hal ini memang berat diawal tapi semakin diterapkan makin bisa. Kadang anak saya sampai menangis dan berteriak tapi selalu saya alihkan ke sesuatu yang dia sukai. Kebetulan saya punya banyak buku. Buku-buku bergambar sudah saya kenalkan buat anak saya yang baru berusia 4 tahun 9 bulan. Dia suka. dengan buku bergambar dan berwarna ketika disodorkan Alhamdulillah dia mau, bahkan dia sering bercerita sesuaai dengan apa yang dia lihat.

2. Mengatasi anak untuk tidak berkata negatif.

Untuk membangun karakter seorang murid, Bapak/Ibu guru di kelas harus menjaga bagaimana anak-anak berbicara. Bagaimana harusnya mereka berdialog dengan bapak atau ibu guru.Nah, hal ini pula saya terapkan untuk anak saya di rumah. Apa yang saya lakukan? Setiap waktu makan dan bermain adalah saat paling tepat berbicara dengan putri saya. Saat itulah saya sering memberikan motivasi untuknya. Sekedar berkata "Qila kita takbir dulu yuk biar semangat." lalu dia akan mengikuti gerakan saya. Mengepalkan tangan dan berkata "Takbir, Allahuakbar" sampai tiga kali, dan ketika makan, kita sering memberi semangat. Tak jarang anak saya memberi saya semangat "Coba mama bilang 'Allahuakbar', dan saya pun takbir. Setelah itu dia juga bilang "Kita harus semangat" dan beberapa kata yang membuat dia selalu ceria dengan memberikan kata-kata "Saya anak yang sehat" "Saya anak yang semangat" "Saya anak yang cerdas." Dengan memberikan kata-kata semangat ternyata ada perubahan dalam dirinya. Kalau mau makan dan rasa malas menyerang dia ingatkan dirinya sendiri "Kalau tidak makan nanti nggak semangat" "Kita makan biar biar sehat, bisa sholat dan ngaji".

Memberi motivasi berupa kata positif sangat membantu pembentukan karakter positif si anak. Alhamdulillah dua cara ini memang sederhana, tapi sangat membantu untuk mengajari anak saya untuk tumbuh menjadi pribadi yang positif. Menjadi ibu yang hanya di rumah saja setelah kuliah memang memiliki rintangan. Rintangan menjawab pertanyaan-pertanyaan para tetangga "Kerja di mana?" "Suah selesai kuliah, trus lanjut ke mana" "Kamu i rumah aja? nggak kerja?". Tapi, saya sudah tetapkan akan tetap menjadi guru, guru untuk anak saya. Dan juga menjadi guru untuk diri saya dan suami saya. Ibu bukanlah pengangguran. Gelar S1 memang tidak menjadikan seseorang harus bekerja di tempat yang diimpikan. Karena, ilmu yang dimilki bisa diaplikasikan di manapun selama itu berguna dan bermanfaat.

Kalau ada ibu-ibu yang sudah kuliah sampai bertahun-tahun dan hanya duduk di rumah. Jangan bersedih, rumah adalah tempat mulia untuk kita perempuan, menjadi ibu guru di rumah itu pun amanah, dan akan bertanggung jawab kepada Tuhan. Kita sama-sama guru. Hanya saja, kita hanya mengajar beberapa orang, sedangkan yang di sekolah harus mengajar dan beradaptasi lagi dengan puluhan anak yang berkarakter berbeda. Semua pasti bisa dilakukan.

SALAM "IBU" GURU

#jan9AISEIWraitingChallange

12 komentar untuk "Menjadi Guru di Rumah"

  1. Hidup itu hanya sekedar menjalani takdir. Ada yang harus jadi dokter, ada yang harus jadi polisi, atau ada juga yang harus jadi petani. Semua menjalani hidup ini dengan takdir yang sudah ditentukan Tuhan. Menjadi seorang ibu adalah kedudukan yang sangat mulia dalam agama Islam. Dari seorang ibu yang berkualitas akan melahirkan generasi yang berkualitas juga. Bahkan bisa melampui kompetensi sang ibu. Semangat mendidik putra putri semoga menjadi generasi islami yang berkualitas dunia akhirat. Sorga menanti anda Bunda. Love you..

    BalasHapus
  2. Bagus dan menginspirasi kisah ibu, mengajar anak di rumah adalah bagian dari life long learner, bu, :)

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah mencerahkan Sekali.
    Terimakasih sudah berbagi
    Semoga Sukses selalu..
    Aamiin

    BalasHapus
  4. Menjadi ibu rumah tangga itu pekerjaan yg sangat mulia. Anakku yg bungsu sama usianya. Sebelum Pandemi saya berangkat ke sekolah jam 5 subuh, dia masih tidur terkadang sudah bangun. Saya pulang terkadang sampai rumah jam 3 sore. Kebanyakan si bungsu di rumah ditemani nenek. Setelah Pandemi saya jadi sering di rumah. Mendidik anak bungsu lebih sulit dibandingkan mengajar murid 4 kelas. Alhamdulillah semua saya jalani dengan enjoy. Banyak tingkah lucu anak balita yg mungkin kalau kita kerja tidak akan kita dapatkan. Tetap semangat sayang. Salam kenal, salam literasi

    BalasHapus
  5. Halo, Ibu Guru-ku. Anda lebih guru dari seorang guru. Saya kira dibutuhkan semangat seperti Ibu dalam mendidik tunas-tunas bangsa ini.

    BalasHapus
  6. Merawat dan menjaga rumah, dan pekerjaan rumah tangga yang lain, Fokus untuk semata wayang, menjadi penulis, blogger aktif, menurut saya ibu bukan pengangguran, malah sibuk sekali... hehe.. begitu bu?

    BalasHapus
  7. Tetap mjd guru di kluarga syukur2 berkembang ke lingkungan sbg pegiat literasi baca tulis

    BalasHapus
  8. Alhamdulilah sudah lulus sarjana dan sudah bisa mengamalkan dalam kehidupan bersama keluarga. Itu luar biasa mbk hesty... Tetap semangat. Ibu adalah madrasah utama bagi seorang anak dan mb hesty sudah melakukan yg terbaik. Bersyukur bisa dampingi si kecil dan jg bs mengabdi bekerja d rumah untuk keluarga.

    BalasHapus

Trimakasih atas kunjungan Anda. Silakan tinggalkan pesan pada kolom komentar. Jika ada yang ingin ditambahkan atau ada kritikan tentang tulisan yang Anda baca. Terimakasih.